Hubungan Pancasila Dengan Hak Asasi Manusia
Hubungan Pancasila
Dengan Hak Asasi Manusia
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah sesuatu yang telah diberikan
Tuhan sejak lahir hingga meninggal dunia yang berkaitan dengan keadilan.
Ideologi negara kita
bersifat fleksibel, yang artinya akan berlaku di setiap waktu dan kondisi.
Pancasila mengandung beberapa makna yang berkaitan dengan HAM.
Sila
Ke-1
: Ketuhanan yang maha esa.
Semua individu memiliki hak
dalam beragama tanpa paksaan.
Sila Ke-2
: Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Semua individu memiliki
hak untuk diadili secara adil dan merata.
Sila Ke-3
: Persatuan Indonesia.
Semua individu memiliki hak untuk bersatu.
Sila Ke-4
: Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan perwakilan.
Semua individu memiliki hak untuk menyampaikan pendapat.
Sila Ke-5
: Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh individu memiliki hak untuk diperlakukan secara adil
tanpa memandang
derajat.
Bangsa Indonesia juga mempunyai pandangan bahwa hak asasi
manusia harus dijunjung tinggi sesuai dengan Pancasila. Dalam perjalanan
sejarah, bangsa Indonesia mengalami berbagai kesengsaraan dan penderitaan yang
disebabkan oleh penjajahan. Oleh karena itu pandangan mengenai hak asasi
manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia bersumber dari ajaran agama, nilai
moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hak warga negara
Indonesia antara lain:
1.
a. Kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945);
2.
b. Hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945);
3.
c. Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945);
4.
d. Hak / kebebasan
memeluk agama atau kepercayaan masing-masing (Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945);
5.
e. Hak dan kewajiban
membela negara (Pasal 30 ayat 1 UUD 1945);
6.
f. Hak mendapat
pengajaran (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945);
7.
g. Kebudayaa
Nasional Indonesia (Pasal 32 UUD 1945);
8.
h. Kesejahteraan
Sosial (Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 Pasal 34 UUD 1945).
Kelembagaan
Nasional HAM di Indonesia
Dalam rangka
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, di samping dibentuk
aturan-aturan hukum juga dibentuk kelembagaan yang menangani masalah yang
berkaitan dengan penegakkan hak asasi manusia, antara lain:
1.
Komnas HAM
Komisi Nasional HAM
pada awalnya dibentuk dengan keppres No. 50 tahun 1993 sebagai respon terhadap
tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional mengenai perlunya
penegakkan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya
undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Komnas HAM terbentuk
dengan keppres tersebut harus sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999. Yang
bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan
hak-hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak-hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
1.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Dibentuk berdasarkan
Keppres No. 181 tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan komisi nasional ini
adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Sifatnya independen dan bertujuan untuk menyebarluaskan
pemahaman bentuk kekerasan terhadap perempuan, menegmbangkan kodisi yang
kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan serta
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
1.
LSM Prodemokrasi dan HAM
Di samping lembaga
penegakkan hak-hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, ada juga
lembaga sejenis yang dibentuk oleh masyarakat, misalnya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau Non Governmental Organization (NGO) yang programnya
terfokus pada demokratisasi dan pengembangan HAM. Yang termasuk dalam LSM ini
antara lain adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( KONTRAS).
Implementasi
HAM di Indonesia
Ideologi yang dianut
oleh suatu negara pada dasarnya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di
negara tersebut, termasuk penerapan hak-hak asasi masyarakatnya. Negara-negara
Barat, seperti Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya
untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih
dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang
“kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan
sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah baru bagi sebagian
masyarakat. Imbas lainnya dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum
ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis) memiliki kebebasan
dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha. Paham lainnya yang
berkembang di negara-negara Timur (seperti di Uni Soviet dan RRC pada masa
lalu) adalah komunisme. Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi tersebut adalah
berkebalikkan dengan apa yang ditimbulkan oleh Liberalisme. Hak-hak masyarakat
diakui, namun tidak sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah
sangat dominan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan. Pada praktik kehidupan
bernegara, pemerintah bersikap otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi
rakyat. Hal tersebut berdampak pada pembungkaman suara rakyat dan pers,
sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Berbeda dengan
negara-negara tersebut, Indonesia menganut ideologi Demokrasi Pancasila,
sehingga implementasi hak asasi manusia di Indonesia seharusnya berjalan dengan
baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham Demokrasi Pancasila. Menurut
ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada dasarnya
diimplementasikan secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi orang
lain. Jadi, ideologi ini menawarkan kebebasan yang bertanggung jawab dalam
mengimplementasikan hak asasi manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih
dalam, sebab ideologi yang dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum
tentu dapat diterapkan oleh rakyat tersebut dengan benar sepenuhnya.
Sejak era reformasi
berbagai produk hukum dilahirkan untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia di
Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, UUD 1945 pasal 28A
sampai pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM
(UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan UU
ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Dari sisi politik, rakyat
Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar,
yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul,
hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan,
yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah
dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Melalui berbagai media
hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan
pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada zaman Orde Baru. Rakyat
Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang
dimilikinya. Rakyat menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul.
Pertemuan-pertemuan rakyat, seperti, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi
mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde Baru. Kelompok-kelompok
masyarakat, seperti, buruh, petani, seniman, dan lain sebagainya yang ingin
melakukan demonstrasi atau unjuk rasa di depan kantor atau pejabat publik tidak
memerlukan izin, tapi sebelum menjalankan unjuk rasa diwajibkan untuk
memberitahu polisi.
Rakyat Indonesia telah
menikmati juga kebebasan berorganisasi. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan
partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya.
Rakyat bebas pula untuk mendirikian organisasi-organisasi kemasyarakatan,
seperti serikat petani, serikat buruh, perkumpulan masyarakat adat, dan lain
sebagainya. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini
akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem
politik dan pemerintahan yang demokratis.
Rakyat Indonesia telah
pula menikmati hak politiknya, yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan
di mana rakyat berperan serta memilih secara langsung para anggota DPR
dan DPRD pada tahun
1999 dan tahun 2004. Pada tahun 2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung
Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya pada tingkat provinsi, kabupaten, dan
kotamadya, rakyat dapat memilih langsung Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sebelum ini belum pernah ada presiden perwujudan hak atas kebebasan politik
dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, kebebasan
politik yang membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar yang
mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan
berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam
pemerintahan, belum dinikmati oleh kelompok minoritas agama. Sejumlah daerah
juga memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan
konsep penghormatan kepada hak asasi manusia dan UUD 1945 pasal 29 yang
menjamin kebebasan. warga negara dalam memeluk agama dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu.
Demikian pula kelompok
minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan
pengawasan oleh negara. Bukan hanya itu, sebagian penganut Ahmadiyah juga
sempat menjadi korban dari tindakan anarkis yang dilakukan oleh sejumlah oknum
dari organisasi masyarakat tertentu. Kebebasan politik yang dinikmati oleh
masyarakat Indonesia ternyata juga tak diimbangi dengan perlindungan hukum yang
semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan
pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan
yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan
hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dari
berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat
lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang
melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus
di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat
adat, kelompok minoritas agama, dan para mahasiswa.
Begitu pula dengan
kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai
Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia, dan
hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa
takut dan tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi
yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU
Anti-Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa. Di
bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu, polisi dengan mengesampingkan
perlindungan hak sipil yang diatur di bawah hukum acara pidana biasa, dengan
mudah dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan
terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jaringan aktivitas
terorisme. Pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak
sipil meskipun belum tentu berdosa, namun karena dicurigai mempunyai hubungan
dengan pelaku kejahatan terorisme, bisa mengalami penangkapan, penahanan,
kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini jelas memperburuk kondisi
hak sipil dan politik. Karena itu, Komnas HAM bersama Komnas-HAM se Asia Pasifik,
mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam memberantas
kejahatan terorisme, namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan
mengindahkan hukum HAM.
Komentar
Posting Komentar